Kamis, 05 Juli 2012

ISLAM “KOS-KOSAN”



oleh : Muh. Sholihuddin, MHI.
Dosen pada Fakultas Syariah
 Perdebatan tentang Islam baik sebagai ajaran atau gerakan, nampaknya tidak akan pernah berhenti sampai kapanpun. Bahkan para sahabat, sosok yang paling dekat dengan Rasulullah saw. dan tahu banyak tentang asba b al-nuzul al-Qur’an dan sunnah nabawiyah juga tidak luput dari perdebatan tentang makna (maksud) dari sebuah nas. Hal ini, karena sejak setelah wafat Rasulullah saw., tidak ada satu otoritaspun yang berwenang secara tunggal menafsirkan nas. Apalagi umat yang jauh dan tidak pernah bertemu dengan Rasulullah saw. Oleh karena itu, maka sesungguhnya tidak perlu ada klaim kebenaran atas suatu keyakinan dan memvonis salah apalagi kafir terhadap keyakinan yang berbeda.
Jika dipetakan, secara politik gerakan Islam secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu textual oriented dan contextual oriented. Dalam pemikiran hukum Islam, kedua arus inilah yang mewarnai perjalanan sejarah pemikiran Islam. Perbedaan-perbedaan yang terjadi tidak lepas dari pemahaman terhadap nas (al-Qur’an dan al-Sunnah). Sehingga dalam khazanah hukum Islam kita mengenal berbagai madzhab, baik yang popular dan bertahan sampai sekarang seperti mazahib al-arba’ah (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah) atau mazhab-mazhab lain yang kurang popular karena kurang mendapat dukungan dari masyarakat atau penguasa saat itu, seperti al-Thauri dan al-Tabari. Demikian juga dalam mazhab fiqh siyasah ada Ali Abd al-Raziq (1888-1966), Thaha Husein (1889-1973), kemudian disusul belakangan oleh Muhammad Said al-Asymawi (Mesir, lahir 1932) yang sekuler atau al-Maududi (1903-1979) dan Sayid Qutb (1906-1966) yang Islamis.
Perbedaan dua arus pemikiran tersebut sejatinya disebabkan karena tidak adanya nas yang jelas dan tegas (sarih) baik di al-Quran maupun al-Hadith tentang pembentukan institusi politik. Institusi politik adalah kebutuhan manusia yang bersifat fundamental karena untuk memelihara hukum dan aturan, membangun kedamaian sosial dan ekonomi, serta menahan diri untuk tidak saling menyerang. Jadi, dengan demikian urusan politik adalah masalah hidup yang sangat manusiawi. Nas} hanya menjadi spirit bagi kehidupan politik manusia.
Ibn Khaldun, sebagimana yang dinyatakan Deliar Noer (1998, 70), menolak menghubungkan soal kepemimpinan dengan syari’ah (agama), karena menurutnya, bahwa eksistensi manusia itu dapat saja ada tanpa kepemimpinan agama.  Ikatan bermasyarakat, bernegara dan berperadaban pada umumnya sebagai sesuatu yang tumbuh dan tenggelam lepas dari soal apakah agama dalam pengertian nubuwwah datang atau tidak, karena ia mengakui bahwa banyak peradaban dan Negara tumbuh dan tenggelam tanpa didatangi oleh ajaran-ajaran nabi. Bagi Khaldun, adanya masyarakat, Negara dan peradaban tidak bergantung pada adanya agama.
Dalam konteks Indonesia, pilihan untuk tidak menjadikan Negara Islam dan menetapkan Pancasila sebagai dasar Negara merupakan pilihan paling mas lahah di antara yang maslah ah, mengingat Negara Indonesia adalah Negara dengan keanekaragaman budaya dan masyarakatnya. Yang terpenting adalah nilai-nilai Islam dapat dilaksanakan dengan baik. Munawir Sjazali (1990, 236), bahwa tidak ada suatu keharusan bagi seorang Muslim untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara. Seorang Muslim bisa saja menerima dasar selain Islam asalkan dasar itu memberikan peluang implementasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Dalam konteks Indonesia, Pancasila sebagai dasar  Negara seperti ditafsirkan Orde baru harus diterima secara final. Begitu juga dengan Abdurraham Wahid yang menganggap Pancasila sebagai kompromi politik yang memungkinkan semua orang Indonesia hidup bersama-sama dalam sebuah negara kesatuan nasional Indonesia. Menurutnya, tanpa Pancasila, Indonesia akan berhenti sebagai negara. (Marzuki Wahid dan Abd Moqsith Ghazali, ACIS ke 10 Banjarmasin, 1 – 4 November 2010).
Penerimaan Indonesia dengan tidak didasarkan pada syariat Islam secara formal, sebagaimana dalam catatan M. Ali Haidar (1998, 4), ternyata tidak bisa dilepaskan dari peran ulama-ulama Indonesia. Hal ini dapat kita lihat melalui gelar-gelar yang pernah diberikan oleh ulama kepada kekuasaan kenegaraan Republik Indonesia. Pada tahun 1952-1954 Kementerian Agama mengadakan Konferensi alim ulama memutuskan, bahwa kekuasaan negara RI merupakan kekuasaan yang zu shaukah (defakto) dengan sebutan wali  al-amr al-daruri  bi al-shaukah (pemegang kekuasaan temporer yang defakto memegang kuasa).
Demikian juga Nahdlatul Ulama (NU) dalam deklarasi Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama tanggal 21 Desember 1983 M di Situbondo, yang dikukuhkan dalam Muktamar ke 27 di Situbondo Jawa Timur tahun 1984, menyatakan bahwa Pancasila adalah final. Dalam deklarasi tersebut disebutkan bahwa, (1). Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2). Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (3). Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antara manusia. (4). Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (5). Sebagai kondisi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua pihak. (http://www.nu.or.id).
Jadi dengan demikian menjadi jelas bahwa Indonesia dengan dasar Pancasila merupakan Negara di mana Islam menjadi jiwa atau ruhnya. Menurut Ibrahim Hosen, model Negara seperti Indonesia seperti itu dalam khazanah pemikiran politik Islam dapat disebut Negara Islam. Pemahaman ini juga memberikan sebuah isyarat bagi orang atau kelompok yang menghendaki perubahan atau pergantian terhadap dasar Negara Indonesia maka bersiap-siap untuk segera angkat kaki dari negera ini. Kelompok Islam seperti ini tidak akar historis di Negara Indonesia. Meraka hanyalah kelompok Islam yang sedang “ngekos” di bumi Indonesia. Jika suatu saat berakhir masa kosnya, maka harus secara sukarela meninggalkan kosnya, karena pemilik asli lebih berhak untuk menempatinya. Jika menolak, maka pemilik kos dapat saja mengusirnya secara paksa.
Wallahu a’lam bi al-sawa b.

0 komentar:

Posting Komentar